Hikmah Perjodohan



            Pada suatu sore, aku mengunjungi daerah Jintap Selatan untuk bercukur rambut. Melewati berbagai tikungan, orang-orang yang berjalan kaki, hingga akhirnya aku tiba ke tempat yang sebelumnya sudah menjadi tujuanku, yakni sebuah salon bernuansa family yang terdapat beberapa kios makanan, dan lapangan futsal luas di dalamnya.
            Nggak ada yang aneh, sama seperti kali-kali sebelumnya tatkala aku memasuki salon ini. Bertemu si calon pencukur, lalu mempersilahkan kliennya untuk duduk menghadap sebuah cermin besar yang terpasang lampu neon di sisi atasnya.
            Ringkas waktu, si mas ahli cukur itu mulai beraksi. Mempermainkan gunting dan sisir yang saling beradu di atas kepalaku. Di sela dirinya mencukur, pria itu berkata : “Sekolah di mana, mas?”
            Lantas aku menjawab; “Joresan, mas.”
            “Ooh. Ambil jurusan apa?” ia tetap bertanya sembari mempermak rambutku.
            “Ipa.”
            “Ooh. Saya dulu mondok di Ngawi,” dirinya mulai bercerita. “Sehabis ini pengen mondok nggak, mas?”
            “Enggak. Hehe.,” jawabku asal-asalan. “Bukan passion saya aja.”
            “Ooh. Gitu. Di tempat saya, yang sekolah di Jorsan banyak lho mas.”
            “Masa? Laa emang rumahnya dimana?”
            “Di **** (sorry,  gua lupa di mana tepatnya. XD) ,mas.” ujarnya lembut. “Lumayan kok. Ada beberpa orang.”
            Ooh…
            “Aku dulu di pondok juga sering nyukur lo. Lulus Aliyah, menetap disana dan sering bantu-bantu atasan di sana.”
            “Bantu ngapain?”
            “Bantu ngguntingin rambutnya pak kepala sekolah, sama kiai di sana. Hehe,” dia berujar, dan dari situlah, awal bagiku tak merasakan keheningan lagi di depan cermin salon yang biasanya kerap terasa dingin. “Ketemu jodoh juga di sana.”
***
            Entah kapan tepatnya, bahasan kemudian jadi seputar rumah tangga dan perjodohan tentang dirinya.
            “Dulu itu, mau menikah aja masih kaya misteri mas. Bayangkan saja, saya waktu itu belum tahu seperti apa rupa perempuanku saat di pelaminan. Mas paham kan, kenapa saya bilang misteri?”
            Aku pun mengangguk. “Seterusnya? “
            “Saat itu, dia masih duduk di kelas tiga Aliyah. Sedangkan saya sudah lulus. Kemudian ada lurah pondok yang menawarkan saya untuk dijodohkan dengan salah satu putri kiai di sana.” pria berkulit kecoklatan itu mulai mengisi senja dengan ceritanya. “Jadi, waktu itu saya sudah kenalan sama bapak-ibunya. Ngelamarlah, istilahnya! Sayangnya, pernikahan pun masih jauh dari kata ‘sebentar lagi’,  ‘bulan depan’, dan sejenisnya. Saat itu, mungkin menunggu berbulan-bulan tanpa mengetahui sosok calon istri terlebih dulu.”
            “Wiiih,” aku angguk-anggukan kepalaku beberapa kali sembari melontarkan senyum simpul.
            “Ta’aruf. Dalam masa itu, paling cuma sms an. Itupun juga juarang banget! Habis, apa yang mau diobrolkan kalau wajah aja belum tahu.” Ujarnya sambil menyemprotkan air ke kepalaku.
            Jujur, aku belum pernah mendengar topik bahasan seperti ini. Jadi, pantas saja jika aku menyuruhnya untuk tetap bercerita lebih lama.
            “Tapi saya tetap yakin, pasti Allah itu telah memberikan jodoh yang terbaik buat saya—lewat perantara lurah pondok. Yaaa, seumpama parasnya tidak sebegitu cantik, saya ikhlas, karena saya akui diriku sendiri juga hanya berwajah pas-pasan,” sebilah tangannya mulai mengambil alat cukur elektronik. Dan menaruhnya di kepalaku seperti alat pangkas rumput yang gesit memotong setiap helainya. “Tapi, saya tetap berharap yang cantik,kok. Haha.”
            Mendengarnya tertawa, akupun ikut tertawa. Percakapan ini semakin menarik, batinku.
            “Jadi, ketika menikahinya, belum ada rasa sayang donk?” lontarku sesaat kemudian.
            “Saaaaama sekali belum. Jadi, waktu malam-malam awal, agak sedikit kikuk juga,” paparnya sedikit malu-malu.
            Mendengarnya, seperti aku ingin tertawa dalam hati. Hahahahahahahahahaha.
            “Tapi, sekarang pasti udah mulai sayang donk…?”
            “Iya mas, Alhamdulillah sudah.” ujarnya merespond pertanyaanku. Tampak di layar cermin, tangannya mulai mengerik garis-garis yang kurang rapi di daerah sekitar telinga dan leher belakang. “Menurut saya, orang kalau sudah pacaran itu makin hari cintanya pasti makin luntur.”
            Hening beberapa detik. Sedangkan aku diam dan tetap memberikan kesempatan baginya untuk menjelaskan maksud ungkapannya barusan.
            “Mereka kan pacaran dulu sebelum menikah. Dan pasti akan sangat berbeda atmosfernya ketika memasuki masa rumah tangga. Sedangkan, orang yang ta’arufan seperti saya. Menikah dulu baru pacaran. Lalu, lambat laun namun pasti, cinta akan tumbuh subur menyertai pernikahan tersebut.”
            Aku paham, dan ambil kesimpulan bahwa yang diaksud mas tadi, pasti pernikahan dengan system perjodohan ala pondok seperti itu, memiliki filosofi dan makna yang teramat mendalam, yakni usaha untuk mewujudkan sebuah ikatan suami istri yang awet . Jika sebuah pernikahan biasanya di awali dari cinta yang sudah terbentuk, berbeda lagi kisahnya ketika di jodohkan ala pesantren. Jangankan sayang, wajanya saja belum tahu? Maka, berbeda dengan cinta yang kian luntur jika di awali dengan pacaran, perjodohan justru tumbuh cinta di saat telah terjadi pernikahan. Sophisticated.
            “Sudah, mas.” tanpa terasa waktu sudah kian sore, dan sesi pencukuran pun telah usai.
            “Ooh. Iya-iya, ini mas uangnya.”
            “Oke, makasih.”
            “Sama-sama.” ucapku bahagia. Kontan, aku beranjak keluar dari salon tersebut. Mengambil alih motorku yang terparkir di depan terasnya. Dan, angin sore terasa kian menyejukkan menyentuh sisi tubuh. Aku bahagia, punya new haircut yang segar—terlebih pemahaman baru yang  menambah wawasan kehidupanku. :-)

-Fin-

Komentar

Postingan Populer