Teknik Kata Kunci (dalam tips memulai menulis novel)
“Kadang-kadang, kata-kata yang paling sederhana
adalah yang paling indah dan efektif.”,-
Robert Cormier, penulis novel The Chocolate War dan I Am The Cheese
Percayakah bahwa setiap kali hendak menulis, sebenarnya kamu sudah mempunyai bahan untuk dituliskan?
Cara kerjanya sederhana saja. Sewaktu kamu sedang menulis, otak kita, yang supercanggih ini telah menyerap semua kata, data, informasi, rasa, dan jenis rangsangan yang diterima alat indra dan merekamnya dengan baik untuk disimpan dalam pusat memori otak. Apa saja yang pernah kita alami dan kita rasakan , semua file-nya adda pada otak kita. Hanya saja, kita dibuat berpikir—bagaimana cara mengeluarkannya?
Hal inilah yang sering dialami seorang penulis ketika sedang nggak ada ide. Padahal, belum tentu mereka benar-benar nggak ada ide, hanya belum tahu bagaimana cara untuk mengeluarkan “barang” yang ada di dalam “gudang” kepalanya. Dan kamu butuh kata kunci untuk ini.
Teknik kata kunci sangat bisa dijadikan rujukan bagi kita disaat lagi nggak ada ide. Kata kunci yang kamu butuhkan berjumlah tiga, sehingga sebut saja teknik tiga kata kunci. Untuk menggunakan teknik kata tiga kunci ini, kamu harus mematuhi aturan mainnya. Agar lebih terukur, sediakan waktu antara 10-15 menit. Jika waktu kamu sudah terbatas, 5 menit pun sudah cukup. Jadi, aturan mainnya seperti berikut :
Pertama, menulislah dengan cepat. Tulis apa saja yang ada dalam kepala kamu. Tangkap apa saja yang melintas dalam ingatan kamu. Tulislah dengan secepat-ceepatnya, seakan-akan kamu takt ia akan terbang kembali kalau nggak segera dituliskan.
Kedua, nggak boleh ada koreksi, perbaikan atau mencoret-coret kertas yang sudah ditulis. Biarkan saja seperti itu sampai kamu selesai menulis.
Ketiga, jangan dibaca ulang. Lihat terus ke depan, pada kata-kata yang sudah kamu tulis. Lupakan kalimat-kalimat yang sudah kamu tulis, selayak lokomotif kereta api yang terus berjalan.
Selanjutnya, mulailah menuliskan cerita dengan menggunakan tiga kata kunci, yaitu selimut, gunung, dan merpati dalam waktu 10 menit.
Kamu boleh mulai dari kata mana saja. Yang penting, ketiga kata kunci tadi harus masuk ke dalam cerita yang akan kamu tulis. Percayalah pada diri sendiri bahwa kamu sangat bisa untuk menuliskannya.
Nah, sebelum kamu menulis, kamu boleh membaca contoh-contoh sebagai berikut:
Contoh 1 :
Selimut ini pemberian Judi yang masih aku simpan. Ada kerinduan ketika meringkuk di dalamnya. Dan, aku selalu merindukan saat-saat bersamanya. Nyaris aku dapat melihat dalam kepalaku, kenangan waktu kami naik gunung utuk pertama kalinya. Itu pengalaman yang menegangkan dan menguji urat-urat sarafku.
Aku ingin katakan ,yang dialami Judi bahkan lebih konyol dari yang aku bayangkan tentangnya. Ah, dia lelaki yang tegap dengan tulang rahang yang kukuh, tapi tak pernah tahan dengan tikus. Binatang pengerat ini paling sanggup membuatnya lari terbirit-birit seperti kucing yang ketangkap basah mencomot ikan asin. Berbeda denganku yang paling takut sama ular ; binatang berbisa yan dalam htungan sanggup membuat orang meninggal karena jantung. Mengerikan. Konyolnya, aku takut dengan semua jenis ular, walau yang tak berbisa sekalipun.
Tak ada yang paling membuat aku marahbesar kecuali saat Judi mempermainkan ular daun warna hjau yang tidak berbisa. Mukaku pucat pasi ketika tiba-tiba dia mengalungkan ular tu di leherku. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah bisa memaafkannya meskipun berkali-kali dia meminta maaf. Namun, aku kembali lunak dan mau bersahabat dengannya ketika dia membawakan sepasang merpati sebaga hadiah ulang tahnku. Selimut ini dan sepaang merpati itu selalu mengingatkanku padanya. Judi, sahabat sekaligus rival yang menyebalkan.
Contoh 2:
Gunung Singgalang tak mungkin sanggup kami taklukkan, seperti harapan sebelum kami berpenat-penat memintal jarak ratusan kilometer dari Pekanbaru. Hujan yang sekonyong-konyong menjatuhkan butiran-butiran air sebesar jagung yang terasa pedas menerpa mukaku, memberantakkan semua rencana yang telah kami susun. Kami memutuskan untuk kembali turun walau sudah seperempat pendakian. Bila hujan tidak juga reda sampai tengah malam, kondisinya akan benar-benar buruk menjelang besok pagi. Sebab, halimun akan mengaburkan semua keelokan ngarai di kaki gunung sana. Kondisi jalan setapak menuju puncak menjadi sangat licin dan berbahaya.
Plihan terbaik yang sekaligus menyesakkan dada adalah turun kembali. Aku rasa ini sama seperti pasukan yang kalah di awal pertmpuran. Rombongan kami menepi pada sebuah perkampungan. Salah seorang dari kami mengetuk pintu rumah wrga. Beruntung mereka bersedia memberikan tumpangan untuk menginap. Hujan masih menderu-deru di luar sana. Aku merapatkan selimut parasutku, berjuang mengalahkan hawa dingin yang menusuk. Suara gaduh kepakan sayap merpati membangunkan tidurku.
Contoh 3:
Merpati, burung besi, menerbangkan aku kembali ke kota ini. Kedatanganku kali ini seperti membuka kembali luka lama. Sudut-sudut
kota ini tak sanggup melunturkan semua kenangan tentangnya. Ada aroma kerinduan yang menyentak-nyentak dadaku. Dua puluh tahun ternyata belum sanggu memuaikan semua rasa kehilangan yang paling menyaktkan dalam hidupku.
“Aku akan kembali untukmu.” Suara lirih Bram.
“Haruskah kamu pergi?”
“Nggak lama, hanya empat tahun.”
Empat tahun yang tak pernah berkesudahan. Bram raib ditelan keganasan Gunung Merapi ketika dia mulai menatap masa depannya, juga mengubur harapanku bertemu dengannya untuk selama-lamanya sampai detik ini, aku tidak pernah bisa memaafkan orang-orang yang membuat Bram meninggal dalam kecelakaan itu. Pihak perguruan tinggi cuci tangan dengan kejadian itu, mereka menyalahkan panitia yang melakukan kegiatan ospek tanpa seizin rektorat.
Aku tidak yakin apakah akan sanggup tinggal lebih lama di kota ini. Penugasanku oleh kantor tempat aku bekerja selama ini tidak mungkin aku tolak. Karena, memang tidak ada alasan untuk menolaknya. Ini adalah kota kelahiranku.
Malam kian larut, aku tenggelam dalam kesendirian dibalut selimut hangat. Kumatikan lampu kamar, berharap mata ini bisa kukatupkan. Pagi besok, aku harus melapor ke kantor cabang perusahaanku. Belum lagi mataku terpejam, suara ring tone handphone kembali menarik kesadaraanku.
“Belum tidur, Sayang?’
Hening.
“Kabar anak-anak bagaimana, Mas?”
“Ketika menulis, kamu menggunakan berbagai bagian otak yang berbeda. Saat proses terjadi, kamu tidak menyadarinya. Kamu tidak mengetahui dari mana asal tulisanmu. Sewaktu berpikir, ‘Wow! Akukah yang menulisnya?’ Itu bagaikan sebuah kejutan yang mengasyikkan”,-Judy Blume, penulis novel remaja dan anak-anak
***
Komentar
Posting Komentar