The Shenzhen Survival is Begin (Nekad Traveller Series Part 2)

Halo..guys, kembali denganku. Sebelumnya di postingan part 1, aku sudah menjelaskan soal aktivitas-aktivitas ku selama di Foshan dan Guangzhou sebelum badai datang. Kali ini, aku mau cerita soal petualanganku bersama teman-temanku untuk bertahan hidup di China. Check it out!
***
Pagi itu, aku dan temanku check out dari apartemen dan meninggalkan teman-teman dari kampus Indonesia lainnya karena kita punya jadwal keberangkatan menuju Beijing hari ini dengan kereta. Di tengah perjalanan, awan mendung warna kelabu muda meniupkan angin yang berhembus keras. Kami tetap berjalan hingga keluar dari komplek apartemen. Di tengah perjalanan, gerimis mulai turun dan lama-lama menjelma menjadi hujan yang lebih deras. Akhirnya kami putuskan untuk mampir sejenak, kebetulan saat itu kami menemukan nasi goreng Lanzhou di daerah tersebut. This will be our second nasi goreng lanzhou!😃 Setelah makan, hujan mulai reda namun tetap gerimis. Karena tak kunjung menunjukkan gejala cerah, akhirnya kami putuskan untuk menerjang gerimis. Kami berjalan melewati jalan, stasiun MRT, menuju stasiun kereta api. Perjalanan ini membuat sepatuku basah kuyup😁. Akhirnya, setelah beberapa lama, kami tiba di stasiun kereta api. Di tengah perjalanan menuju loket, seorang turis asing dari Portugal bertanya pada kami. Dari percakapan itu,  dia menerangkan bahwasanya seluruh akses kereta jarak jauh dibatalkan. 😕 Kami pun masih belum percaya, akhirnya setelah benar-benar meyakinkan kepada petugas kereta api, ternyata benar, seluruh kereta dibatalkan kecuali menuju Shenzhen. Kami pun lemas tak berdaya, saat itu pukul 12 siang.

Akhirnya kami coba diskusi di depan MCD, duduk di lantai stasiun. 
"Guys ini gimana?", tanya seorang teman.
"Yaa mau gak mau kita gak bisa ke Beijing," ucap mas Elghi lirih diirngi suara angin yang sudah meliuk-liukan pepohonan dengan keras. Kami menunggu di depan MCD hingga sore, solat pun juga kami laksanakan di sana, di teras samping MCD. What an experience! Hanya Allah lah salah satu harapan kami agar dapat bertahan di negeri ini dengan selamat. Kondisi di luar hujan deras, kilatan petir, dan angin topan yang menggoyang-goyangkan pepohonan. Bahkan tak sedikit akar pohon yang terlepas. Kami pun berusaha membatalkan tiket pesawat kami dari Beijing, namun naas... Ternyata refund harganya mahal dan jika ingin membeli tiket pulang dari Guangzhou sekarang juga sudah mahal, sekitar 3-5 juta per orang. Sore hari badai mulai reda dan kami putuskan untuk pulang dari Shenzhen karena harga tiket yang masih budget mahasiswa yaitu sekitar 1-1,5 juta per orang. Kami refund tiket kereta kami keberangkatan Beijing untuk kami belikan ke Shenzhen.

"Andai ajaa, kita berangkatnya kemarin ya guys ke Beijing", mas Elghi teringat keterlambatan beli tiket kereta.
"Hmm, udah mas gak apa-apa mungkin ada hikmahnya," ucap Bela.

Ini adalah kondisi Bela (yang katanya mirip Gita Sav) saat kebingungan nyari tempat duduk di kereta

Kami pun akhirnya menuju Shenzhen. Kereta di China ini membuatku shock, kursi yang sebenarnya sudah dijatah dengan nomor duduk yang sudah ditetapkan tapi sepertinya tidak berlaku di sini. Semua orang duduk dengan acak, bahkan sepertinya jumlah kursi tidak cukup untuk menampung penumpang. Termasuk aku, yang harus jongkok di lorong kereta. LOL. Tapi gapapa deh enggak kebagian tempat duduk, untung aku bawa buku favorit yang menemani selama perjalanan.
This is me when reading book, makasih mas Elgi atas foto candidnya

Perjalanan Guangzhou-Shenzhen itu ibarat Surabaya-Malang, pikirku, karena hanya membutuhkan durasi sekitar satu jam setengah. Akhirnya kami tiba di Shenzhen, suasana stasiun sepi dan gelap. Kami langsung mencari MRT setempat, dan mas Elgi berusaha untuk booking penginapan dengan biaya termurah. Akhirnya kami menemukan apartemen di daerah Pingzhou. Untuk kesana, kami menggunakan Shenzhen metro (istilah untuk MRT setempat). Perjalanan cukup panjang mengingat jarak tempuh kami adalah ujung ke ujung hehe. Sesampainya di sana, kami pun harus berjalan sekitar 3-5 kilometer untuk mencapai hotel kami. Saat itu jam menunjukkan pukul 22.30 malam. Rupanya, di Shenzhen efek taifun lebih parah dan mengerikan.

Kehidupan malam kota Shenzen, kami berjalan kaki berkilo-kilo menuju hotel
 

Banyak sekali pohon tumbang disana. Setelah berjalan jauh, akhirnya kami menemukan apartemen kami. Tapi sayangnya apartemen itu terlihat aneh. Kosong, sepi. Apartemen ini merupakan sebuah komplek dengan 5 bangunan apartemen dengan tinggi sekitar 20-an lantai. Apartemen tersebut hanya dijaga oleh seorang satpam. Farid yang sudah letih tak kuasa untuk ingin duduk di bangku taman. Bayangkan kondisi tubuh saat badan basah karena keringat hangat dan kondisi luar tubuh lembab karena hujan. Aaargh...memang ingin segera mandi dan rebahan. Dari 5 gedung, kami harus mencari gedung mana yang merupakan gedung A. Tak berselang lama. kami menemukan gedung itu. Namun tak seperti ekspektasi kami dengan apartemen-apartemen biasanya, apartemen ini sungguh tak ramah. Tak ada resepsionis dan seorang pun di lantai satu. Lewat pintu transparan itu aku tahu untuk masuk kita perlu kartu anggota. Tiba-tiba ada seseorang keluar dari apartemen tersebut, lalu kami buru-buru menahan pintu agar tidak terkunci lagi.

"Ayo guys buruan masuk," ucap mas Elgi. 

Kami semua masuk ke apartemen tersebut dan mencari "kamar" kami. Gedung ini memiliki banyak lorong gelap, dan sumber penerangannya adalah lampu yang otomatis menyala ketika ada suara termasuk langkah gerak kami. Kami tiba di pintu kamar kami, namun ada notes yang bertuliskan, pemiliki rumah sedang pergi ke luar kota. What the hell! Kita coba hubungi via WeChat juga susah sekali. Akhirnya... karena tak kunjung dapat kabar dari si pemilik kamar, dan waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Aku pun menyeletuk kepada temanku,
"Guys, bagaimana kalau kita tidur di sini aja?"
"Hah, di mana?", ucap Bela satu-satunya perempuan dari 4 anak (karena Isti dan yang lain memang tidak berencana ke Beijing sehingga mereka menetap di bandara Guangzhou).
"Di sini, di lorong", ucapku. Mas Elgi, Mas Toriq, dan Farid yang sudah capek sepertinya juga setuju saja karena sudah capek. 


Pemandangan luar jendela lewat tempat kita duduk
Kita duduk termenung sambil mencoba beristirahat. Seluruh lorong sangat gelap, kecuali jika salah satu dari kita batuk maka lampu di atas kita akan menyala selama 5 detik. Mas Elgi membuka bajunya dan mengusap keringat dengan tisu parfum.Suasana hening, sangat hening. Bela pun juga sudah tertidur. Kalian tahu apa yang ada di isi kepala kami jika dalam kondisi seperti ini? Dalam hati aku khawatir ini jebakan psikopat, pembunuh, dan sejenisnya. Aku juga takut sebagai "bule" di China tiba-tiba ketahuan satpam, hiiii. Bayangan-bayangan itu diperparah ketika sampingku adalah pintu dengan cabang lorong yang memanjang dari lantai atas. TIBA-TIBA, ada teriakan dari temanku!

Apa itu?!!! Kami semua langsung berdiri, berteriak. Seluruh lampu otomatis menyala terang benderang. Bela yang tidur jongkok langsung berdiri ternganga. Farid melihat sesuatu... apa itu? 

***
To be continued...

Komentar

Postingan Populer