Be Yourself is More Than Important: Chapter 1
Mau
ataupun tidak, setiap masa pasti akan mengalami efek transisi yang membuat diri
kita mempunyai fitur-fitur baru, baik yang disadari ataupun tidak.
Satu contoh,
ketika anak yang bertumbuh dewasa, ia akan mendapatkan fitur baru berupa pola
pikir yang mulai menuju ke arah pengembangan diri atau bagi beberapa orang,
menyebutnya pembentukan jati diri—atau masa pencarian jati diri.
Menjadi anak muda
memang tidak selalu berisi tentang menjejakkan kaki di muka dunia, namun, di
dalam praktiknya, justru sering kali dunia yang membentuk kita untuk tumbuh
menjadi apa atau seperti siapa.
Pernah tidak,
sebagai remaja, kamu disodori pertanyaan sejenis: “Lebih baik menjadi dirimu
sendiri”, “syukuri saja apa yang telah diberikan Tuhan kepadamu”.
Mungkin, mayoritas
dari kalian pernah terhunjam oleh rantaian kata ini, baik itu dari teman, guru
maupun papan-papan yang sering kita jumpai di berbagai media social.
Memang, di usia
remaja, kita memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan meniru sebagai siapa;
mulai dari idola, selebriti, pahlawan nasional—yang dapat kita tiru gaya bicara
mereka, gesture, bahkan ideologinya.
Sebenarnya, tak
ada masalah kalau kamu ingin meniru siapapun dari segi apapun. It’s up to
you if you want to grow as your idol figure, yang jelas, harus memunculkan
dampak positif dan semangat bagi kita, khususnya anak muda Indonesia. Soalnya,
sekarang ini banyak dari berbagai media cerminan moral dan tingkah anak muda
yang “alay” itu, ditiru oleh sebagian teman-teman kita. Hii, geli juga kan,
kalau pas berkunjung ke Negara asing dan respon kita ketika melihat situs di
luar sana bilang: “O-Em-Ji Oh My Wow….”
Ya, belajar
selektif di dalam memilih bacaan dan tontonan TV maupun film itu penting, Guys,
di samping mempengaruhi mood kita, media juga dapat berpartisipasi dalam
pembentukan karakter dan pola pikir kita.
Kembali lagi ke
topik bahasan kita, yakni “Being Yourself Is More Than Important”. Memang, apa
sih maksudnya jadi diri sendiri? Dan apa keuntungan kita melaksanakan segala
sesuatu sesuai dengan kehendak hati nurani? Pertanyaan-pertanyaan ini,
mengingatkan saya kembali kepada memoar perjalanan saya ke Tuban pada Mei lalu,
dalam rangka lomba AKSIOMA Tingkat Provinsi yang diadakan oleh Kemenag.
So, berikut
ceritanya…
Januari 2015
Pada
suatu pagi, di saat degup bumi belum sepenuhnya berpacu dengan hangat sinar
mentari, kala itu saya sedang berdiri di samping tiang di salah satu gedung
sekolah saya, MA Al-Islam Ponorogo.
Tetiba
saja, seorang Pak Guru berperingai gesit menghampiri saya sambil memegang
beberapa lembar kertas. Sebut saja namanya Pak Z (baca: Zi)
Rupanya
beliau benar-benar menghampiri saya, dan menginstruksikan saya agar duduk di
sebelahnya pada sebuah bangku di bawah pohon.
“Ada
apa Pak?” sapa saya sambil menyalami tangannya dengan takzim.
“Begini,
kamu dulu pernah menuliskan puisi buat majalah sekolah kan?” ucapnya. “Jadi,
Kemenag saat ini mau mengadakan lomba tingkat Kabupaten, salah satu cabangnya
adalah Lomba Puitisasi Kandungan Surat Al-Qur’an.”
Akhirnya,
beliau menunjukkan lembaran kertas itu kepada saya. Di sana, juga tertera
cabang-cabang lomba yang lain.
“Oh,
begitu,” respon saya, pura-pura tak mengerti meski saya sudah paham maksud
kedatangan beliau.
“Jadi,
saya minta kamu untuk mewakili sekolahan di dalam lomba ini. Penyisihannya hari
Rabu, di MAN ** Po.”
“Rabu?
Berarti lima hari lagi dong, Pak?”
“Iya,
maka dari itu kamu siapkan dari sekarang. Lalu, buat puisi sebaik mungkin dari
kategori surat yang ada di kertas ini!”
Saya
mengangguk-angguk. Gabungan senang, namun juga perasaan semacam jetlag karena
lusa kemarinnya, baru saja mengikuti Babak Penyisihan tk. Regio olimpiade
Biologi yang membuat hati saya “berdesir” bukan main. :D
Akhirnya,
mufakat pun terjadi. Keputusan saya terima, dan ini tandanya, bahwa saya
memiliki tanggung jawab baru yang bukan hanya mengatasnamakan diri saya
pribadi, tetapi juga nama baik sekolah… Yakni menjadi delegasi untuk sebuah
lomba dari Kementrian Agama ini.
H-4
Rasanya
masih saja grogi. Pasalnya, saya sudah lama sekali tidak menulis puisi. Sekitar
banyak bulan, bahkan. Di sini rasanya kurang yakin, mengingat menulis puisi
yang bagus juga memerlukan kepekaan bahasa yang tentu perlu istiqamah dalam
latihannya.
Bahkan,
sebuah pikiran terlintas di benak saya. “Apa saya harus mundur dalam lomba
ini?” Pikiran yang konyol juga sebenarnya. Sudah untung dipercaya oleh sekolah.
Namun, apakah tetap menjadi konyol umpama kamu menganggap ada teman lain yang
lebih jago dari kamu, akan tetapi dia tidak terpilih sebagai delegasi?
Entahlah, yang jelas, saat itu
saya belajar nilai ketulusan saya di dalam memberi yang terbaik dan tanpa
pamrih untuk sekolah saya. Saya ingin menang, bukan karena saya, melainkan demi
sekolahan… [1]
H-3
Pagi-pagi
sekali, saya datang ke sekolahan. Rupanya, saya ketinggalan informasi bahwa
hari ini ada upacara di Lap. Walisongo untuk pembukaan acara AKSIOMA Tk.
Kabupaten.
Ya,
karena Cuma disuruh buat ganti baju olahraga, meski tanpa persiapan apapun jadi
saya tetap dapat mengikuti upacara tersebut.
Honesty,
this is my first time in joining an official competition. Saya melihat,
banyak sekali siswa-siswi berbaju olahraga warna-warni khas almamater mereka
masing-masing. Ada sedikit degup yang aneh dalam dada ini, terlebih jika kamu
memiliki hasrat untuk menang—antara keraguan dan keyakinan yang mungkin
perbandingannya 2:1.
(SKIP)
Upacara
telah selesai. Tadi, saya mendapati peserta puisi putra hanya ada enam orang.
Rasanya lucu juga, bahkan mengimajinasi kalau benar pesertanya cuma enam, jadi
kalah maupun menang tetap dapat penghargaan. Yaa…paling tidak menyandang status
‘harapan’. Eits, jangan sumringah dulu, karena, hal sepele apapun tak boleh
diremehkan dalam soal apapun.
Yang
saya pikirkan selanjutnya saat itu, dari 6 puisi yang tertera di lembar info,
belum satupun yang saya buat alih-alih untuk lomba hari Rabu. Help me, God!
H-1
Bel istirahat pertama berdering. Saya pun,
bersama seorang teman untuk perwakilan pidato Bhs. Inggris bergegas pergi ke
kantor Kesiswaan untuk bertemu dengan Pak Z. Tujuan saya pribadi, karena beliau
merupakan seorang jurnalis, maka saya ingin meminta saran dan pendapat tentang
puisi saya melalui kacamata beliau.
Eh,
tak disangka… Memang, beliau orangnya terkadang cuek terlebih ketika dilanda
kesibukan yang ekstra menumpuk. Alih-alih ingin dikoreksikan, puisi saya cuma
dibaca dan direspon sekenanya. Ya, di sini saya mencoba mempelajari situasi bahwa saya, memang
dituntut untuk mandiri, bahkan dalam pendelegasian oleh sekolahan sekalipun.
(Hari Rabu yang sedikit lembab)
Namanya
juga Januari, pasti aroma hujan masih kuat menggantung di udara. Pagi itu, saya
beserta kawan-kawan dari variasi lomba yang berbeda, berangkat menggunakan satu
mobil menuju ke tempat penyisihan masing-masing.
Wajarnya
anak mudalah, di dalam mobil itu pun juga dihuni oleh berbagai macam karakter.
Ada yang kelihatannya diam menerawang ke kaca mobil (yang mungkin saja nervous
tk.Dewa ), namun adajuga yang bercanda dan membuat tawa-tawa ringan sepanjang
perjalanan.
Saat
itu, kebetulan saya memegang sebuah Al-Qur’an (namanya juga lomba puitisasi
Qur’an, hehe), daripada saya anggurin, dan ikut bercanda terlalu larut nanti
malah membuat sensor puitis saya berkurang, akhirnya perjalanan pagi itu juga saya imbangi dengan
membaca surat pendek Al-Quran dan tentunya—do’a mengharap kemenangan. [2]
(SKIP)
Sesampainya
di depan ruangan yang akan menjadi saksi bisu perlombaan saya kali ini.
Pertama, panitia menyodori saya undian—dan muncullah angka 22 yang menjadi
nomor peserta saya. Alhamdulillah.
Di
dalam, peserta putra masih sedikit, belum melebihi enam orang anak, sedang yang
putri sudah tampak beberapa. Saya pun menjabat seluruh peserta tersebut hangat.
Selanjutnya, seiring bergulirnya waktu, peserta putra yang sempat saya duga cuma
enam orang anak, ternyata tanpa disadari jumlahnya mencapai 25 lebih! (wah,
kalau yang ini, kalah pun tetap tak dapat status “harapan”)
(SKIP)
Rupanya,
ketentuan lomba hanya menginstruksikan untuk membuat satu puisi yang dipilih
secara personal, tanpa ada adegan undi-mengundi terlebih dahulu. Yah, terlanjur menghapalkan enam
puisi dengan porsi jumbo. Tapi, tenang saja. Ada hikmah yang saya petik dari
pelajaran kali ini, bahwa, kalau kita memang mau menjadi Pemenang Sejati, kita
harus melampaui diri kita sendiri—melampaui dari syarat yang sebenarnya.
[3] AN-NABA’ adalah surat yang saya pilih kala itu.
(SKIP)
Istirahat telah usai. Saya
yang baru saja berkenalan dengan beberapa teman baru, masuk kembali ke dalam
ruangan bukan lagi sebagai “competitor”, melainkan sebagai seorang “teman” yang
rekat meski tak lebih dua jam kami bertatap muka.
Dari proses menulis, diambil
enam besar untuk ke babak selanjutnya, yakni Pembacaan Puisi.
Dan dari enam nama yang
dibacakan tersebut, terkandung nama saya di antaranya. Alhamdulillah.
Tapi, di sini ada satu yang saya sangat—sangat—entah bagaimana
mendeskripsikannya, tapi yang jelas, saya sama sekali tidak ada persiapan untuk
babak Pembacaan ini! Bahkan saya sendiri belum tahu kalau rupanya enam besar
puisi yang lolos masih harus dilomba lagi dengan MEMBACAKANNYA.
Teringat pesan Pak Z yang
sebelumnya pamit meninggalkan saya, karena ingin melihat pertandingan cabang
lain yang berada di beda sekolah; beliau mengatakan bahwa, jika masuk babak
kedua, tolong beri kabar ke beliau. Insyaallah Pak Z mau lihat saya
baca.
Akan tetapi, merasa serba ini
dan itu, membuat ponsel di genggaman saya ini tak memencet tombol apapun. Saya
tidak ingin, Pak Z melihat sesuatu yang terlihat kurang prepare dari
diri saya. Sehingga, saya tak menggubris pesan beliau. Saya tak memberi kabar
apapun kalau saya dinyatakan masuk 6 besar.
Well, nomor urut 22 sedikit
memberi waktu lebih bagi saya untuk berlatih gesture dan intonasi meski dari
meja. Saya toleh ke kanan-kiri, tampak kelima peserta lainnya sudah sangat prepare
di dalam membacanya. Bahkan, beberapa sudah ada yang hapal di luar kepala! Tapi, yang jelas jangan terlalu
mengurusi orang lain. Biarkan mereka berusaha, dan biarkan tubuhmu bergerak
sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Dan tentunya, dengan hati yang terus
mengharap kemengan pada Sang Maha Kuasa. [4]
(SKIP)
Melihat peserta lain yang maju lebih awal, membuat saya belajar dari
mereka.[5] Mulai
dari bagaimana ekspresi mereka, intonasi dan tipe gesture yang digunakan.
Akhirnya, no. 22 pun berkumandang di udara—membuat jantung di dalam sangkar
rusuk saya berdegup cukup kencang. “Lub…dup… Lup..dup.. lup-dup
lup.dup.lup.dup….”
(SKIP)
Entah apa yang saya lakukan
tadi, pokoknya saya hanya melihat kedua juri dan seluruh penonton itu hanya
diam selama saya beraksi di “panggung”. Saya berpikir, apa yang baru saja saya
tampilkan tadi sungguh sederhana. Saya hanya bergerak se-alami mungkin,
sedangkal apa yang saya tahu dari teknik membaca puisi yang “PERNAH” saya
tonton dulu. Ketimbang
peserta lain—bahkan ada yang sungguh theatrical, saya merasa penampilan saya
yang mungkin bisa dibilang “enggak neko-neko.” Akhirnya, saya kembali menuju
tempat di mana saya duduk beriring gemuruh tepuk tangan—yang terdengar di
telinga saya—“sangat meriah”. [6]
(SKIP)
Belum puas dengan sesi
pembacaan puisi, juri tampaknya ingin kembali mengukur kemampuan peserta,
melalui menulis puisi dengan tema random yang dibagikan secara mendadak.
Saat itu, untuk menulis puisi sebanyak satu halaman kertas Folio, diberi waktu
kurang lebih 30 menit.
(SKIP)
Jreng…Jreng…!!! (Ciyee…
kayaknya tegang banget, nih :-p)
Pengumuman enam besar, sudah.
Pembacaan lomba puisi di
babak dua, juga sudah.
Menulis puisi, tahap final,
juga sudah.
Kalau sudah semuanya,
sekarang tinggal menunggu pengumuman untuk mengetahui siapa sih, yang bakal
mewakili Ponorogo untuk bertanding di Tingkat Provinsi?
Saya masih duduk, sendiri,
mengatur nafas saya agar berhembus dengan tenang. Hati ini mode on,
berdzikir…dan berdzikir… Bukan hanya saya saja, yang berdo’a, tapi juga peserta
lainnya juga melakukan hal yang sama. Bahkan, saya melihat beberapa juga ada
yang berdo’a secara over, dan saya melihatnya malah teringat Mbah Dukun
yang sedang komat-kamit membacakan mantra.
Akhirnya, waktu membawa kami
pada sebuah ketentuan.
“Juara ketiga Puisi Putr,
dengan skor ***, diraih oleh no. urut **..!!!”
Tepuk tangan terdengar biasa.
Barangkali, karena aura tegang masih menyelimuti. Sedang yang terpanggil
namanya, gabungan antara senang karena masuk peringkat parallel, namun bisa
jadi juga kecewa karena tak dapat menyandang “nomor 1” dalam lomba ini.
“Juara dua, dengan skor ***,
diraih oleh ***…!!!
Nama barusan yang dipanggil
adalah nama kenalan yang bercakap hangat dengan saya waktu istirahat tadi.
Tentu saja, saya menepuki kemenangannya dengan applause yang semangat.
Dia pun menoleh kepada saya.
“Juara pertama….”
Untuk kata selanjutnya, saya
kurang fokus karena masih berbahagia dengan kemenangan teman baru saya
tersebut.
“…dengan skor, 4**, diraih
oleh…”
Tak melintas pikiran apapun
di benak saya. Bahkan, hati saya pun tak mengucapkan doa apapun. Semuanya,
terjadi begitu cepat. Begitu mencengangkan.
“NOMOR
22…!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Tepuk tangan membahana sangat
keras. Meriah, meriah sekali. Teman-teman yang sempat berkenalan dengan saya,
segera menoleh ke arah saya dan mengucapkan selamat dengan ekspresi tepuk
tangan mereka. Bahkan peserta yang ada di belakang saya, menepuki pundak saya
dengan pancaran senyum yang menyiratkan kehangatan. Mungkin, inilah gunanya ketika kita tidak
menganggap lawan sebagai competitor, melainkan sebagai kawan. Maka, ketika kita
menang, tak hanya kita sendiri yang merasa bahagia, akan tetapi orang lain yang
telah terkoneksi dengan kita pun juga akan turut merasakannya. [7]
Sedangkan, saya sendiri. Oleh
sebab musabab tak terfokusnya konsentrasi, maka jalan satu-satunya untuk
mencurahkan kesyukuran saya tatkala nomor “22” tersebut dipanggil adalah dengan
membuka mulut saya dengan shock. (Hehe, lebay banget ya.) Sekitar tiga
detik mulut saya menganga takjub, hingga setelah sinaps di otak saya
benar-benar meyakinkan saya kalau nomor tersebut adalah milik saya. Ini
berarti, sah juga saya jadi Juara 1 dalam perlombaan AKSIOMA Tk. Kabupaten ini…
Alhamdulillah.
Selanjutnya, pengumuman
pemenang peserta Putri. Dari apa yang telah diputuskan juri, juara 1 peserta
Putri diraih oleh delegasi dari sekolah yang tengah kami kunjungi ini.
Saya dan dia berkenalan. Oh ya, karena kualitas sebuah relasi terletak pada
nilai apa yang bisa kita dapatkan dari kenalan kita. Maka, mungkin saya
benar-benar mendapat ilmu baru dari sini. Yakni, dia yang pada dasarnya lebih
berpengalaman di bidang lomba, spesialnya LKTI—memberi saya masukan untuk
mengikuti lomba-lomba online yang banyak—alih-alih sambil persiapan AKSIOMA Mei
mendatang, namun juga mewujudkan mimpi sebagai penulis. Dan, rentang waktu
Januari-Mei tersebut, beberapa judul puisi dan cerpen saya telah terbit dalam
beberapa antologi indie di Indonesia. [8] (Ya, meskipun cuma dapat sertifikat, yang
penting ini sudah latihan :-D)
Akhirnya, selagi dewan juri
tengah bercakap-cakap dengan Panitia. Saya coba angkat hape saya, pukul 12:00.
Lalu, mencoba memencet kontak atas beberapa pesan terbaru yang ada di kotak
masuk. Pak Z.
Saya pun keluar dari ruang
tersebut.
Laksana twist dalam cerita
novel, rupanya, tanpa saya sadari, Pak Z yang tengah mengenakan baju batik
ungu-nya telah berdiri di depan pintu, agak menyamping ke arah tangga.
Dengan rasa syukur yang
mengepul, saya bicara: “Pak, saya Juara 1…”
“Iya, saya tadi juga lihat
kok,” jawabnya ramah, dengan serak ala bapak-bapak. “Kamu tadi bacanya seperti
WS. Rendra.”
Waduh, WS. Rendra? Beneran
Pak? Seketika, image cuek yang selama ini melekat di sosok Pak Z sirna
di hadapan saya. Pun saya merasa bersyukur, karena mungkin hanya beberapa saja
murid yang mendapat perlakuan hangat dari Pak Z. Kalau di sekolahan, beliau
akan kembali menjadi “singa” bagi mayoritas siswa.
“Wah, emang lihat di mana
Pak?”
“Tadi, di belakang, sama
pembimbing-pembimbing dari sekolah lain.”
Aaargh! Untung, malunya setelah selesai tampil, batin
saya. Namun, terlepas dari itu semua, yang terpenting saya telah memenangkan
lomba ini. Sekali lagi, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Segala Puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam.
Matahari menggantung di atas
ubun-ubun. Sinarnya kehangatan menyepuh reranting dan dedaunan. Waktu telah
memasuki dzuhur, bumi bernafas menyejukkan aspal yang kian waktu menampilkan
fatamorgana. Dan, penutup pada hari yang penuh hikmah itu, diakhiri dengan
tawaran makan bakso gratis oleh Pak Z.
-=*=-
Hey, kawan! Masih semangat kan?
Bagaimana? Pengalaman di atas tadi, saya maksudkan untuk berbagi kisah dan
semangat tentang menggali hikmah dalam peristiwa. Wah, kalau kita teliti dan
memperhatikan dengan seksama, ternyata banyak sekali ya, hikmahnya?! Well,
let’s remind our points! Check it out…
1. Ketulusan hati dalam
berjuang, poin yang saya pelajari ini, pertama kali saya dapatkan saat
AKSIOMA itu berlangsung. Menurut saya, berusaha tanpa pamrih untuk memberikan
kebajikan untuk bangsa itu perlu, selain membentuk karakter jujur dan patriot,
kita akan tahu tujuan dewasa kita kelak untuk bangsa ini, dengan begitu passion
akan tercurah demi manfaat bangsa juga.
2. Sertakan Allah dalam
berjuang, sering kali kita sebagai manusia yang dianugrahi sifat lupa,
juga lupa akan kekuasaan-Nya. Kita meyakini, tapi jarang menghayati. Ada
istilah, “Usaha tanpa doa sombong, doa tanpa usaha ialah kosong.” So, make
it balance ya guys!!!
3. Lampaui batas kekuatanmu!
Hikmah mempersiapkan keenam puisi, membuat saya semakin memahami dan yakin,
bahwa, melampaui diri sendiri adalah salah satu kunci dari kesuksesan.
4. Fokus dengan dirimu, dan
hiraukan lawan. Ya, saya memahami poin ke-empat ini, karena sebelumnya
saya pernah ikut dalam suatu perlombaan pidato, yang mana di situ saya terlalu
“melihat” lawan saya—dan, mengakibatkan saya sombong. Singkatnya, sifat-sifat
tersebut justru membahayakan saya. Lawan-lawan yang saya anggap kuat, maupun
remeh, ternyata memiliki skor nilai yang melampaui saya. Alhasil, di sana saya
merasa…kapok. So, guys! Belajar mencegah sifat sombong melekat pada diri kita
yaaaa! Kalau perlu, gempur dan robohkan sifat alami manusia tersebut!
5. Belajar dari pengalaman
orang lain, pasti sering dengar kan, kalau ‘Pengalaman adalah guru
terbaik’. Ya, rupanya, pengalaman tidak melulu dari apa yang kita alami
sendiri, melainkan dari orang lain. Oleh karenanya, jika kita memang
benar-benar belajar dari pengalaman orang lain, saya yakin, kita akan dapat
mengambil manfaat darinya sebanyak mungkin. Seperti apa yang telah saya
lakukan, pada saat menunggu giliran tampil pada sesi pembacaan puisi.
6. Be yourself,
lagi-lagi, kita diingatkan untuk menjadi diri sendiri ;-) Ya, selain itu, saya
hanya meyakini apa yang sempat saya dengar dulu, saat pelajaran Bahasa
Indonesia (yang sebenarnya agak lupa) bahwa: membaca puisi itu berbeda dengan
deklamasi yang memang—sedikit theatrical.
7. Ketika kita menjejakkan
ingatan baik dalam memori orang lain. Ya, dengan begini, orang-orang
tak perlu sinis dengan kita ketika kita menang. Karena mereka merasakan
kehangatan dengan kita. Namun, perlu diingat, praktiknya mungkin tetap ada saja
orang yang iri dengan kita. Solusinya, hibur diri sendiri bahwa ini tujuan
kita, dan ada proses panjang sebelum meraih ini. Jadi, seharusnya bukan “iri”
kata yang ada di sini, melainkan “motivasi” untuk ikut meniru kebaikan kita.
8. Relasi yang bermanfaat.
Usahakan, di setiap kesempatan untuk berkenalan dengan orang-orang baru.
Karena, kita belum tahu ke arah mana perkenalan itu bermanfaat bagi kita. Jadi
perintah untuk bergaul dengan orang-orang yang solih itu shohih banget, kawan….
:-D
Di dalam lomba, semua orang rela
berlatih berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hanya untuk meraih
kemenangan, medali emas maupun trophy agung. Namun, tidak cukup untuk diakui
sebagai pemenang saja, namun kita juga harus tahu apa tujuan untuk menang.
Kemenangan jangan dijadikan untuk unjuk diri, atau malah membuat kita menjadi
semakin sombong. Sebaliknya, kemenangan harus kita jadikan motivasi diri untuk
semakin dekat dengan Tuhan, dan bukti bahwa Tuhan benar-benar sayang pada kita.
Kalau menurut saya sih, kita menang—karena kita telah pantas untuk menang.
Keren :D
BalasHapusThank you.... Haha!!! Sering-sering komen dan saran yaaa...
Hapus