Be Yourself is More Than Important: Chapter 1

                Mau ataupun tidak, setiap masa pasti akan mengalami efek transisi yang membuat diri kita mempunyai fitur-fitur baru, baik yang disadari ataupun tidak.
            Satu contoh, ketika anak yang bertumbuh dewasa, ia akan mendapatkan fitur baru berupa pola pikir yang mulai menuju ke arah pengembangan diri atau bagi beberapa orang, menyebutnya pembentukan jati diri—atau masa pencarian jati diri.
            Menjadi anak muda memang tidak selalu berisi tentang menjejakkan kaki di muka dunia, namun, di dalam praktiknya, justru sering kali dunia yang membentuk kita untuk tumbuh menjadi apa atau seperti siapa.
            Pernah tidak, sebagai remaja, kamu disodori pertanyaan sejenis: “Lebih baik menjadi dirimu sendiri”, “syukuri saja apa yang telah diberikan Tuhan kepadamu”.
            Mungkin, mayoritas dari kalian pernah terhunjam oleh rantaian kata ini, baik itu dari teman, guru maupun papan-papan yang sering kita jumpai di berbagai media social.
            Memang, di usia remaja, kita memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan meniru sebagai siapa; mulai dari idola, selebriti, pahlawan nasional—yang dapat kita tiru gaya bicara mereka, gesture, bahkan ideologinya.
            Sebenarnya, tak ada masalah kalau kamu ingin meniru siapapun dari segi apapun. It’s up to you if you want to grow as your idol figure, yang jelas, harus memunculkan dampak positif dan semangat bagi kita, khususnya anak muda Indonesia. Soalnya, sekarang ini banyak dari berbagai media cerminan moral dan tingkah anak muda yang “alay” itu, ditiru oleh sebagian teman-teman kita. Hii, geli juga kan, kalau pas berkunjung ke Negara asing dan respon kita ketika melihat situs di luar sana bilang: “O-Em-Ji Oh My Wow….”
            Ya, belajar selektif di dalam memilih bacaan dan tontonan TV maupun film itu penting, Guys, di samping mempengaruhi mood kita, media juga dapat berpartisipasi dalam pembentukan karakter dan pola pikir kita.
           
            Kembali lagi ke topik bahasan kita, yakni “Being Yourself Is More Than Important”. Memang, apa sih maksudnya jadi diri sendiri? Dan apa keuntungan kita melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak hati nurani? Pertanyaan-pertanyaan ini, mengingatkan saya kembali kepada memoar perjalanan saya ke Tuban pada Mei lalu, dalam rangka lomba AKSIOMA Tingkat Provinsi yang diadakan oleh Kemenag.
            So, berikut ceritanya…
Januari 2015
          Pada suatu pagi, di saat degup bumi belum sepenuhnya berpacu dengan hangat sinar mentari, kala itu saya sedang berdiri di samping tiang di salah satu gedung sekolah saya, MA Al-Islam Ponorogo.
          Tetiba saja, seorang Pak Guru berperingai gesit menghampiri saya sambil memegang beberapa lembar kertas. Sebut saja namanya Pak Z (baca: Zi)
          Rupanya beliau benar-benar menghampiri saya, dan menginstruksikan saya agar duduk di sebelahnya pada sebuah bangku di bawah pohon.
          “Ada apa Pak?” sapa saya sambil menyalami tangannya dengan takzim.
          “Begini, kamu dulu pernah menuliskan puisi buat majalah sekolah kan?” ucapnya. “Jadi, Kemenag saat ini mau mengadakan lomba tingkat Kabupaten, salah satu cabangnya adalah Lomba Puitisasi Kandungan Surat Al-Qur’an.”
          Akhirnya, beliau menunjukkan lembaran kertas itu kepada saya. Di sana, juga tertera cabang-cabang lomba yang lain.
          “Oh, begitu,” respon saya, pura-pura tak mengerti meski saya sudah paham maksud kedatangan beliau.
          “Jadi, saya minta kamu untuk mewakili sekolahan di dalam lomba ini. Penyisihannya hari Rabu, di MAN ** Po.”
          “Rabu? Berarti lima hari lagi dong, Pak?”
          “Iya, maka dari itu kamu siapkan dari sekarang. Lalu, buat puisi sebaik mungkin dari kategori surat yang ada di kertas ini!”
          Saya mengangguk-angguk. Gabungan senang, namun juga perasaan semacam jetlag karena lusa kemarinnya, baru saja mengikuti Babak Penyisihan tk. Regio olimpiade Biologi yang membuat hati saya “berdesir” bukan main. :D
          Akhirnya, mufakat pun terjadi. Keputusan saya terima, dan ini tandanya, bahwa saya memiliki tanggung jawab baru yang bukan hanya mengatasnamakan diri saya pribadi, tetapi juga nama baik sekolah… Yakni menjadi delegasi untuk sebuah lomba dari Kementrian Agama ini.

H-4
          Rasanya masih saja grogi. Pasalnya, saya sudah lama sekali tidak menulis puisi. Sekitar banyak bulan, bahkan. Di sini rasanya kurang yakin, mengingat menulis puisi yang bagus juga memerlukan kepekaan bahasa yang tentu perlu istiqamah dalam latihannya.
          Bahkan, sebuah pikiran terlintas di benak saya. “Apa saya harus mundur dalam lomba ini?” Pikiran yang konyol juga sebenarnya. Sudah untung dipercaya oleh sekolah. Namun, apakah tetap menjadi konyol umpama kamu menganggap ada teman lain yang lebih jago dari kamu, akan tetapi dia tidak terpilih sebagai delegasi?
          Entahlah, yang jelas, saat itu saya belajar nilai ketulusan saya di dalam memberi yang terbaik dan tanpa pamrih untuk sekolah saya. Saya ingin menang, bukan karena saya, melainkan demi sekolahan… [1]

H-3
          Pagi-pagi sekali, saya datang ke sekolahan. Rupanya, saya ketinggalan informasi bahwa hari ini ada upacara di Lap. Walisongo untuk pembukaan acara AKSIOMA Tk. Kabupaten.
          Ya, karena Cuma disuruh buat ganti baju olahraga, meski tanpa persiapan apapun jadi saya tetap dapat mengikuti upacara tersebut.
          Honesty, this is my first time in joining an official competition. Saya melihat, banyak sekali siswa-siswi berbaju olahraga warna-warni khas almamater mereka masing-masing. Ada sedikit degup yang aneh dalam dada ini, terlebih jika kamu memiliki hasrat untuk menang—antara keraguan dan keyakinan yang mungkin perbandingannya 2:1.
          (SKIP)
          Upacara telah selesai. Tadi, saya mendapati peserta puisi putra hanya ada enam orang. Rasanya lucu juga, bahkan mengimajinasi kalau benar pesertanya cuma enam, jadi kalah maupun menang tetap dapat penghargaan. Yaa…paling tidak menyandang status ‘harapan’. Eits, jangan sumringah dulu, karena, hal sepele apapun tak boleh diremehkan dalam soal apapun.
          Yang saya pikirkan selanjutnya saat itu, dari 6 puisi yang tertera di lembar info, belum satupun yang saya buat alih-alih untuk lomba hari Rabu. Help me, God!

H-1
          Bel istirahat pertama berdering. Saya pun, bersama seorang teman untuk perwakilan pidato Bhs. Inggris bergegas pergi ke kantor Kesiswaan untuk bertemu dengan Pak Z. Tujuan saya pribadi, karena beliau merupakan seorang jurnalis, maka saya ingin meminta saran dan pendapat tentang puisi saya melalui kacamata beliau.
          Eh, tak disangka… Memang, beliau orangnya terkadang cuek terlebih ketika dilanda kesibukan yang ekstra menumpuk. Alih-alih ingin dikoreksikan, puisi saya cuma dibaca dan direspon sekenanya. Ya, di sini saya mencoba mempelajari situasi bahwa saya, memang dituntut untuk mandiri, bahkan dalam pendelegasian oleh sekolahan sekalipun.
(Hari Rabu yang sedikit lembab)
          Namanya juga Januari, pasti aroma hujan masih kuat menggantung di udara. Pagi itu, saya beserta kawan-kawan dari variasi lomba yang berbeda, berangkat menggunakan satu mobil menuju ke tempat penyisihan masing-masing.
          Wajarnya anak mudalah, di dalam mobil itu pun juga dihuni oleh berbagai macam karakter. Ada yang kelihatannya diam menerawang ke kaca mobil (yang mungkin saja nervous tk.Dewa ), namun adajuga yang bercanda dan membuat tawa-tawa ringan sepanjang perjalanan.
          Saat itu, kebetulan saya memegang sebuah Al-Qur’an (namanya juga lomba puitisasi Qur’an, hehe), daripada saya anggurin, dan ikut bercanda terlalu larut nanti malah membuat sensor puitis saya berkurang, akhirnya perjalanan pagi itu juga saya imbangi dengan membaca surat pendek Al-Quran dan tentunya—do’a mengharap kemenangan. [2]
(SKIP)
          Sesampainya di depan ruangan yang akan menjadi saksi bisu perlombaan saya kali ini. Pertama, panitia menyodori saya undian—dan muncullah angka 22 yang menjadi nomor peserta saya. Alhamdulillah.
          Di dalam, peserta putra masih sedikit, belum melebihi enam orang anak, sedang yang putri sudah tampak beberapa. Saya pun menjabat seluruh peserta tersebut hangat. Selanjutnya, seiring bergulirnya waktu, peserta putra yang sempat saya duga cuma enam orang anak, ternyata tanpa disadari jumlahnya mencapai 25 lebih! (wah, kalau yang ini, kalah pun tetap tak dapat status “harapan”)
          (SKIP)
          Rupanya, ketentuan lomba hanya menginstruksikan untuk membuat satu puisi yang dipilih secara personal, tanpa ada adegan undi-mengundi terlebih dahulu. Yah, terlanjur menghapalkan enam puisi dengan porsi jumbo. Tapi, tenang saja. Ada hikmah yang saya petik dari pelajaran kali ini, bahwa, kalau kita memang mau menjadi Pemenang Sejati, kita harus melampaui diri kita sendiri—melampaui dari syarat yang sebenarnya. [3] AN-NABA’ adalah surat yang saya pilih kala itu.
(SKIP)
Istirahat telah usai. Saya yang baru saja berkenalan dengan beberapa teman baru, masuk kembali ke dalam ruangan bukan lagi sebagai “competitor”, melainkan sebagai seorang “teman” yang rekat meski tak lebih dua jam kami bertatap muka.
Dari proses menulis, diambil enam besar untuk ke babak selanjutnya, yakni Pembacaan Puisi.
Dan dari enam nama yang dibacakan tersebut, terkandung nama saya di antaranya. Alhamdulillah. Tapi, di sini ada satu yang saya sangat—sangat—entah bagaimana mendeskripsikannya, tapi yang jelas, saya sama sekali tidak ada persiapan untuk babak Pembacaan ini! Bahkan saya sendiri belum tahu kalau rupanya enam besar puisi yang lolos masih harus dilomba lagi dengan MEMBACAKANNYA.
Teringat pesan Pak Z yang sebelumnya pamit meninggalkan saya, karena ingin melihat pertandingan cabang lain yang berada di beda sekolah; beliau mengatakan bahwa, jika masuk babak kedua, tolong beri kabar ke beliau. Insyaallah Pak Z mau lihat saya baca.
Akan tetapi, merasa serba ini dan itu, membuat ponsel di genggaman saya ini tak memencet tombol apapun. Saya tidak ingin, Pak Z melihat sesuatu yang terlihat kurang prepare dari diri saya. Sehingga, saya tak menggubris pesan beliau. Saya tak memberi kabar apapun kalau saya dinyatakan masuk 6 besar.
Well, nomor urut 22 sedikit memberi waktu lebih bagi saya untuk berlatih gesture dan intonasi meski dari meja. Saya toleh ke kanan-kiri, tampak kelima peserta lainnya sudah sangat prepare di dalam membacanya. Bahkan, beberapa sudah ada yang hapal di luar kepala! Tapi, yang jelas jangan terlalu mengurusi orang lain. Biarkan mereka berusaha, dan biarkan tubuhmu bergerak sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Dan tentunya, dengan hati yang terus mengharap kemengan pada Sang Maha Kuasa. [4]
(SKIP)
Melihat peserta lain yang maju lebih awal, membuat saya belajar dari mereka.[5] Mulai dari bagaimana ekspresi mereka, intonasi dan tipe gesture yang digunakan. Akhirnya, no. 22 pun berkumandang di udara—membuat jantung di dalam sangkar rusuk saya berdegup cukup kencang. “Lub…dup… Lup..dup.. lup-dup lup.dup.lup.dup….”
(SKIP)
Entah apa yang saya lakukan tadi, pokoknya saya hanya melihat kedua juri dan seluruh penonton itu hanya diam selama saya beraksi di “panggung”.  Saya berpikir, apa yang baru saja saya tampilkan tadi sungguh sederhana. Saya hanya bergerak se-alami mungkin, sedangkal apa yang saya tahu dari teknik membaca puisi yang “PERNAH” saya tonton dulu. Ketimbang peserta lain—bahkan ada yang sungguh theatrical, saya merasa penampilan saya yang mungkin bisa dibilang “enggak neko-neko.” Akhirnya, saya kembali menuju tempat di mana saya duduk beriring gemuruh tepuk tangan—yang terdengar di telinga saya—“sangat meriah”. [6]
(SKIP)
Belum puas dengan sesi pembacaan puisi, juri tampaknya ingin kembali mengukur kemampuan peserta, melalui menulis puisi dengan tema random yang dibagikan secara mendadak. Saat itu, untuk menulis puisi sebanyak satu halaman kertas Folio, diberi waktu kurang lebih 30 menit.
(SKIP)
Jreng…Jreng…!!! (Ciyee… kayaknya tegang banget, nih :-p)
Pengumuman enam besar, sudah.
Pembacaan lomba puisi di babak dua, juga sudah.
Menulis puisi, tahap final, juga sudah.
Kalau sudah semuanya, sekarang tinggal menunggu pengumuman untuk mengetahui siapa sih, yang bakal mewakili Ponorogo untuk bertanding di Tingkat Provinsi?
Saya masih duduk, sendiri, mengatur nafas saya agar berhembus dengan tenang. Hati ini mode on, berdzikir…dan berdzikir… Bukan hanya saya saja, yang berdo’a, tapi juga peserta lainnya juga melakukan hal yang sama. Bahkan, saya melihat beberapa juga ada yang berdo’a secara over, dan saya melihatnya malah teringat Mbah Dukun yang sedang komat-kamit membacakan mantra.
Akhirnya, waktu membawa kami pada sebuah ketentuan.
“Juara ketiga Puisi Putr, dengan skor ***, diraih oleh no. urut **..!!!”
Tepuk tangan terdengar biasa. Barangkali, karena aura tegang masih menyelimuti. Sedang yang terpanggil namanya, gabungan antara senang karena masuk peringkat parallel, namun bisa jadi juga kecewa karena tak dapat menyandang “nomor 1” dalam lomba ini.
“Juara dua, dengan skor ***, diraih oleh ***…!!!
Nama barusan yang dipanggil adalah nama kenalan yang bercakap hangat dengan saya waktu istirahat tadi. Tentu saja, saya menepuki kemenangannya dengan applause yang semangat. Dia pun menoleh kepada saya.
“Juara pertama….”
Untuk kata selanjutnya, saya kurang fokus karena masih berbahagia dengan kemenangan teman baru saya tersebut.
“…dengan skor, 4**, diraih oleh…”
Tak melintas pikiran apapun di benak saya. Bahkan, hati saya pun tak mengucapkan doa apapun. Semuanya, terjadi begitu cepat. Begitu mencengangkan.
“NOMOR 22…!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Tepuk tangan membahana sangat keras. Meriah, meriah sekali. Teman-teman yang sempat berkenalan dengan saya, segera menoleh ke arah saya dan mengucapkan selamat dengan ekspresi tepuk tangan mereka. Bahkan peserta yang ada di belakang saya, menepuki pundak saya dengan pancaran senyum yang menyiratkan kehangatan. Mungkin, inilah gunanya ketika kita tidak menganggap lawan sebagai competitor, melainkan sebagai kawan. Maka, ketika kita menang, tak hanya kita sendiri yang merasa bahagia, akan tetapi orang lain yang telah terkoneksi dengan kita pun juga akan turut merasakannya. [7]
Sedangkan, saya sendiri. Oleh sebab musabab tak terfokusnya konsentrasi, maka jalan satu-satunya untuk mencurahkan kesyukuran saya tatkala nomor “22” tersebut dipanggil adalah dengan membuka mulut saya dengan shock. (Hehe, lebay banget ya.) Sekitar tiga detik mulut saya menganga takjub, hingga setelah sinaps di otak saya benar-benar meyakinkan saya kalau nomor tersebut adalah milik saya. Ini berarti, sah juga saya jadi Juara 1 dalam perlombaan AKSIOMA Tk. Kabupaten ini…
Alhamdulillah.
Selanjutnya, pengumuman pemenang peserta Putri. Dari apa yang telah diputuskan juri, juara 1 peserta Putri diraih oleh delegasi dari sekolah yang tengah kami kunjungi ini.
Saya dan dia berkenalan. Oh ya, karena kualitas sebuah relasi terletak pada nilai apa yang bisa kita dapatkan dari kenalan kita. Maka, mungkin saya benar-benar mendapat ilmu baru dari sini. Yakni, dia yang pada dasarnya lebih berpengalaman di bidang lomba, spesialnya LKTI—memberi saya masukan untuk mengikuti lomba-lomba online yang banyak—alih-alih sambil persiapan AKSIOMA Mei mendatang, namun juga mewujudkan mimpi sebagai penulis. Dan, rentang waktu Januari-Mei tersebut, beberapa judul puisi dan cerpen saya telah terbit dalam beberapa antologi indie di Indonesia. [8] (Ya, meskipun cuma dapat sertifikat, yang penting ini sudah latihan :-D)
Akhirnya, selagi dewan juri tengah bercakap-cakap dengan Panitia. Saya coba angkat hape saya, pukul 12:00. Lalu, mencoba memencet kontak atas beberapa pesan terbaru yang ada di kotak masuk. Pak Z.
Saya pun keluar dari ruang tersebut.
Laksana twist dalam cerita novel, rupanya, tanpa saya sadari, Pak Z yang tengah mengenakan baju batik ungu-nya telah berdiri di depan pintu, agak menyamping ke arah tangga.
Dengan rasa syukur yang mengepul, saya bicara: “Pak, saya Juara 1…”
“Iya, saya tadi juga lihat kok,” jawabnya ramah, dengan serak ala bapak-bapak. “Kamu tadi bacanya seperti WS. Rendra.”
Waduh, WS. Rendra? Beneran Pak? Seketika, image cuek yang selama ini melekat di sosok Pak Z sirna di hadapan saya. Pun saya merasa bersyukur, karena mungkin hanya beberapa saja murid yang mendapat perlakuan hangat dari Pak Z. Kalau di sekolahan, beliau akan kembali menjadi “singa” bagi mayoritas siswa.
“Wah, emang lihat di mana Pak?”
“Tadi, di belakang, sama pembimbing-pembimbing dari sekolah lain.”
Aaargh! Untung, malunya setelah selesai tampil, batin saya. Namun, terlepas dari itu semua, yang terpenting saya telah memenangkan lomba ini. Sekali lagi, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Matahari menggantung di atas ubun-ubun. Sinarnya kehangatan menyepuh reranting dan dedaunan. Waktu telah memasuki dzuhur, bumi bernafas menyejukkan aspal yang kian waktu menampilkan fatamorgana. Dan, penutup pada hari yang penuh hikmah itu, diakhiri dengan tawaran makan bakso gratis oleh Pak Z.
-=*=-

Hey, kawan! Masih semangat kan? Bagaimana? Pengalaman di atas tadi, saya maksudkan untuk berbagi kisah dan semangat tentang menggali hikmah dalam peristiwa. Wah, kalau kita teliti dan memperhatikan dengan seksama, ternyata banyak sekali ya, hikmahnya?! Well, let’s remind our points! Check it out…
1. Ketulusan hati dalam berjuang, poin yang saya pelajari ini, pertama kali saya dapatkan saat AKSIOMA itu berlangsung. Menurut saya, berusaha tanpa pamrih untuk memberikan kebajikan untuk bangsa itu perlu, selain membentuk karakter jujur dan patriot, kita akan tahu tujuan dewasa kita kelak untuk bangsa ini, dengan begitu passion akan tercurah demi manfaat bangsa juga.
2. Sertakan Allah dalam berjuang, sering kali kita sebagai manusia yang dianugrahi sifat lupa, juga lupa akan kekuasaan-Nya. Kita meyakini, tapi jarang menghayati. Ada istilah, “Usaha tanpa doa sombong, doa tanpa usaha ialah kosong.” So, make it balance ya guys!!!
3. Lampaui batas kekuatanmu! Hikmah mempersiapkan keenam puisi, membuat saya semakin memahami dan yakin, bahwa, melampaui diri sendiri adalah salah satu kunci dari kesuksesan.
4. Fokus dengan dirimu, dan hiraukan lawan. Ya, saya memahami poin ke-empat ini, karena sebelumnya saya pernah ikut dalam suatu perlombaan pidato, yang mana di situ saya terlalu “melihat” lawan saya—dan, mengakibatkan saya sombong. Singkatnya, sifat-sifat tersebut justru membahayakan saya. Lawan-lawan yang saya anggap kuat, maupun remeh, ternyata memiliki skor nilai yang melampaui saya. Alhasil, di sana saya merasa…kapok. So, guys! Belajar mencegah sifat sombong melekat pada diri kita yaaaa! Kalau perlu, gempur dan robohkan sifat alami manusia tersebut!
5. Belajar dari pengalaman orang lain, pasti sering dengar kan, kalau ‘Pengalaman adalah guru terbaik’. Ya, rupanya, pengalaman tidak melulu dari apa yang kita alami sendiri, melainkan dari orang lain. Oleh karenanya, jika kita memang benar-benar belajar dari pengalaman orang lain, saya yakin, kita akan dapat mengambil manfaat darinya sebanyak mungkin. Seperti apa yang telah saya lakukan, pada saat menunggu giliran tampil pada sesi pembacaan puisi.
6. Be yourself, lagi-lagi, kita diingatkan untuk menjadi diri sendiri ;-) Ya, selain itu, saya hanya meyakini apa yang sempat saya dengar dulu, saat pelajaran Bahasa Indonesia (yang sebenarnya agak lupa) bahwa: membaca puisi itu berbeda dengan deklamasi yang memang—sedikit theatrical.
7. Ketika kita menjejakkan ingatan baik dalam memori orang lain. Ya, dengan begini, orang-orang tak perlu sinis dengan kita ketika kita menang. Karena mereka merasakan kehangatan dengan kita. Namun, perlu diingat, praktiknya mungkin tetap ada saja orang yang iri dengan kita. Solusinya, hibur diri sendiri bahwa ini tujuan kita, dan ada proses panjang sebelum meraih ini. Jadi, seharusnya bukan “iri” kata yang ada di sini, melainkan “motivasi” untuk ikut meniru kebaikan kita.
8. Relasi yang bermanfaat. Usahakan, di setiap kesempatan untuk berkenalan dengan orang-orang baru. Karena, kita belum tahu ke arah mana perkenalan itu bermanfaat bagi kita. Jadi perintah untuk bergaul dengan orang-orang yang solih itu shohih banget, kawan…. :-D
Di dalam lomba, semua orang rela berlatih berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hanya untuk meraih kemenangan, medali emas maupun trophy agung. Namun, tidak cukup untuk diakui sebagai pemenang saja, namun kita juga harus tahu apa tujuan untuk menang. Kemenangan jangan dijadikan untuk unjuk diri, atau malah membuat kita menjadi semakin sombong. Sebaliknya, kemenangan harus kita jadikan motivasi diri untuk semakin dekat dengan Tuhan, dan bukti bahwa Tuhan benar-benar sayang pada kita. Kalau menurut saya sih, kita menang—karena kita telah pantas untuk menang.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer