Memeluk Hujan







               Bibir pemuda itu pucat. Matanya yang bundar kecoklatan senantiasa mengerjap-ngerjap di temani kepulan teh yang menguap. Suaranya bergeming, beradu dengan reranting yang berdansa di pinggiran jalan. Bersama semilir angin, rambut ikalnya itu kian menari di tengah udara.
            Pagi yang lembab bersama kepul kabut yang berlimpah, membuat hati Rio sedikit urung untuk melanjutkan proyek skripsinya. Pemuda itu mengumpat dalam hati. Tak terima—terlebih ketika langit menyetel cuaca yang senada dengan hatinya. Kelabu, di temani rintikan hujan. Sekali lagi, ia menyeruput secangkir porselen itu.
            “Hei Rio, what’s wrong? Are you ok?” ucap Nyonya Helena sambil menyuguhkan sepiring muffin yang masih mengepulkan hangat. “We’ll so happy, if you can feel better in our house. Marilah, ayo di makan masakannya.” Lalu, wanita paruh baya itu duduk dan mulai menyendok salad.
            Suara halus wanita itu membangunkan Rio dari dunia angannya. Kemudian, menyadari bahwa semeja full of English breakfast lengkap dengan sepiring muffin telah tersaji di hadapannya. Membuat sisa binar di mata Rio terpancar di tengah redup jiwanya. “Thank you, Madame,” ucap Rio sambil tersenyum.
            “Setiap pagi, apa kamu selalu melamun?” tanya Pak Willy sembari mengiris black pudding miliknya. Yang kemudian di sambut oleh anggukan Nyonya Hellena, pertanda setuju dengan argument suaminya.
            “Ah, enggak apa-apa kok, Pak. Mungkin, saya suka hujan,” ujar Rio beralasan.
            “Biasanya, orang yang suka lihat hujan itu sedang kangen sama seseorang lo. Memang, kamu kangen dengan siapa?” tanya Nyonya Hellena, membuat Rio terccekat. Pemuda itu bergetar memegang garpunya, lalu kemudian segera pamit ke belakang.
            Pak Willy dan Nyonya Hellena bingung. Lalu, anaknya yang bernama Lucas, angkat bicara. “Mungkin, Rio punya kenangan menyedihkan deh, Ma.”
            “Iya, kelakuannya aneh. Apalagi akhir-akhir ini dia jadi sering melamun.”
            “Sudahlah, biarkan Rio dengan perasaannya sendiri. Kita jangan ikut campur masalahnya,” ujar Pak Willy menengahi.
            Rio menghadap cermin. Selembar tangannya ia lekatkan ke kepalanya. Seseorang telah mengetuk kenangan terdalamnya. Lantas, seperti adegan dalam sebuah dongeng, cinta Rio seperti berontak ingin menemui pasangan kutubnya. Berharap ia dapat berbagi hangat yang kini di peluknya. Tapi sayang, kutub lain tersebut berada jauh di suatu tempat yang tak tergapai angan-angan Rio. Dan itu memaksa Rio agar selalu memendam hasrat nalurinya kepada Clara—gadis semu masa lalunya. Lagi-lagi, seperti pagi sebelumnya, sarapan lezat Rio senantiasa di temani rasa getir yang menyelinap di hati.
***
            Usai sarapan, payung-payung itu bermekaran, melawan rintik hujan yang tengah menderanya. Lalu kedua lelaki itu melangkahkan kaki hingga tercipta riak air yang tergenang di jalanan. Reranting pohon masih bergoyang. Di susul oleh angin yang berhembus menerjang payung Rio dan Lucas.
            “Aduh, seperti ini ya jika London hujan. Lembab dan membuat kota menjadi basah,” ucap Lucas sambil menjaga keseimbangan payungnya.
            “Iya. Namun, hujan ini membuat kota terasa lebih sejuk. Segar,” balas Rio sambil tersenyum. “Iya kan?”
            “Bagaimana dengan Jakarta? Apakah hujan juga merupakan sesuatu yang di favoritkan?”
           “Haha. Aku rasa tidak,” ujar Rio pada temannya itu. “Karena, Jakarta pasti akan lebih dari sekedar mandi. Di kotaku, sangat sering terjadi banjir.”
            Keduanya lalu saling tertawa meski langit sedang di rundung awan kelabu. Pada akhir pekan ini, Rio dan Lucas berniat untuk berjalan-jalan di Soho Square, suatu tempat di mana lokasi perayaan unik dan toko-toko antik di gelar. Selain mereka, juga banyak warga London yang turut berjalan kaki menghiasi suasana hujan. Tak lama kemudian, kedua sahabat karib itu melintas di depan sebuah toko kecil, yang berjajar banyak bungkus coklat di dalamnya. Maklum, saat ini adalah Februari, bulan di mana banyak cinta beterbangan. Pasti berpasang-pasang kekasih di seluruh dunia sedang bersuka cita merayakannya. Dan ternyata, tradisi seperti ini juga akan di rayakan oleh Lucas.
            “Hei Rio, lihat itu!” kelakar Lucas kepada temannya sambil menunjuk-nunjuk ke arah toko. “Pasti di sana ada sesuatu yang sedang kita butuhkan.”
            Rio menoleh. Dan menyadari bahwa toko berdinding kaca itu adalah gerai pernak-pernik valentine. “Lebih tepatnya, sesuatu yang kamu butuhkan Lucas. Bukan aku!” ucap Rio bersungut-sungut. Memicu tawa genit Lucas.
            “Ayolah…, please. Could you accompany me to go to that store?
            Melihat bayangan mata Lucas, membuat Rio mau tak mau memenuhi keinginan pria bermata biru itu. “Oke deh, kita ke sana.”
            Yes! Thank you, Rio.”
***
            Sesaat kemudian, keduanya sampai di toko tersebut. Mata Rio terbelalak, di ikuti oleh kekaguman yang menjalari dadanya. Dari luar, sepintas bangunan ini seperti liliput di antara hotel-hotel yang menjulang tinggi. Namun, di dalamnya sungguh sesuatu yang tak terduga. Meja-meja persegi berjajar di sudut ruangan tersebut, menciptakan kesan nyaman layaknya kafe maupun bar. Selagi Lucas sibuk memilah kado yang hendak ia berikan kepada Aura, pacar Lucas. Rio terduduk di sebuah kursi, dan membiarkan imajinasi mengambil alih seluruh kesadarannya seperti tadi pagi.
***
            “Rio, hei, are you ok?” ucap Lucas, sembari menepuk ringan punggung Rio.
            Tangan dingin itu, membuat Rio tersadar. Dan merasakan ada sesuatu yang basah di bawah matanya. Dia menangis.
            “Rio, kok kamu bisa menangis sambil tertidur sih?” tanya Lucas sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
            “Ah, ti—tidak apa-apa kok. Mungkin cuma sakit mata,” ujar Rio mencari alasan. “Sudah selesai belanjanya?”
            “Sudah!” ucap Lucas dengan senyuman lebar, sambil mengangkat tas plastik bernuansa merah muda ke depan wajah Rio. “Rio, kamu tidak ingin beli juga?”
            Rio terdiam. Pemuda itu merasakan ada sesuatu yang cuil dalam dirinya akibat kalimat Lucas. Sakit. Pemuda itu merasakan perih ketika hati yang bersangkar di dadanya itu cuil, hingga membuat buih air mata mendesak ingin keluar dari matanya.
            “Ada apa Rio? Oh, mungkin ada kalimatku yang salah kepadamu?”
            “Ah tidak, enggak ada kok,” Rio tersenyum, meski dengan senyum yang terpaksa. “Ayo pulang.”
            Lucas mengangguk. Meskipun pemuda itu menyimpan tanya di benaknya. Apa gerangan yang terjadi pada Rio?
***




            Seminggu kemudian…
            14 Februari tiba. Tanggal di mana seluruh keping kenangan mendesaki benak Rio. Seperti pagi biasanya, pemuda itu lembut menyeruput secangkir tehnya. Menunggu, dan selalu menunggu seseorang akan mengeluarkan dirinya dari lamun kesedihannya itu. Seorang berambut pirang membelai punggung Rio, mata birunya mengamati Rio yang tengah kosong menghadap langit. Rio terbangun, dan segera tersenyum menghadapi pemuda itu. Meskipun dengan senyum palsu, namun gurat senyumnya tampak sebagai sesuatu yang murni.
            Bau parfum tercium dari jasnya, sembari membawa sebingkis cokelat, pemuda itu tampak benar-benar sepesial hari ini. Lucas.
            “Rio, bagaimana menurutmu? Is it so sweet?” ucap Lucas sambil bergaya di depan Rio.
            Rio tertawa. Kali ini tampak geliginya yang rapi. “Yes man, you are so handsome. Aku yakin, Aura akan sangat senang dengan hadiahmu.”
            “Oh, yeah. Of course. Kalau begitu, aku berangkat dulu ya,” ujar Lucas sambil melambaikan tangan. Mata Rio mengekor pada bayangnya, melihatnya menjauh dan terlihat mengecil. Hingga, di sebuah tikungan bayangan pria itu hilang seutuhnya.
            Beruntungnya kamu, Lucas,bisik Rio kepada hatinya. Desir angin berhembus sejuk di udara. Reranting pohon menciptakan nada yang menyendukan suasana. Dan daun kering perlahan jatuh dari tangkainya akibat serpihan hujan.
            Tanpa ia sadari, setitik eluh menetes di pipi Rio. Kemudian, terbentik hasrat jika dia ingin berjalan-jalan menuju Sungai Thames. Ya, alih-alih menghibur dirinya sendiri. Kemudian, lelaki itu segera beranjak dari duduknya. Memekarkan payung dan berjalan ke pusat London.
            Sesampainya di sana, Rio memandang nanar pada pemandangan di sekelilingnya: pasangan kekasih yang merayakan valentine. Membuat Rio iri di buatnya.
            Lagi, setetes eluh terlukis di pipinya. Ia merasa keping ingatan tentang Clara terlampau sakit untuk di kenangnya. Dia melihat Big Ben yang megar di seberang sungai, lalu membayangkan betapa cantiknya Clara di usianya kini yang ke dua puluh tahun. Rio meracau, kepalanya di rubung oleh berbagai macam pertanyaan. Mengapa kecelakaan malam itu sanggup melayangkan nyawa orang yang ia cintai. Mengapa hingga saat ini dia belum bisa merelakan kepergiannya?
            Lelaki itu menangis sesenggukan. Dalam anganannya, ia begitu ingin Marie Tussaud secara suka rela membuatkan patung lilin Clara sehingga ia tak perlu bersusah lagi memendam cinta terdalamnya. Namun, itu tak mungkin, meski Rio membayar jutaan poundsterling hanya untuk duplikasi Clara. Pikirannya semakin kacau, dalam angannya ia berharap: aliran sungai Thames akan membawa cintanya kepada Clara dan mengabarkan bahwa ia sedang baik saja di dunia. Ia berharap, Clara dapat memahami perasaannya, bahwa ia belum sanggup untuk di tinggalkan sendirian dan berharap Clara kembali ke pelukannya.
            Namun, sejuk hujan menyadarkannya. Bahwa ia harus bersabar dan tabah menerima semua ini. Sakit, memang. Namun ia tahu, bahwa Clara akan lebih sakit jika melihat dirinya seperti ini terus. Menyesap dinginnya kabut, Rio membayangkan sosok Clara di depannya. Dan saling berpeluk erat dalam naungan hujan, kemudian Rio mengucapkan: selamat ulang tahun, Sayang.

 Ponorogo, Maret 2015
Telah diantologikan bersama karya lainnya, dalam Antologi "Pemimpin" by Raditeens Publisher.

(Maaf yak :-D kalau belum sempurna, maklumlah masih belajar. Ini adalah cerpen tahap 1 yang masih belum saya edit sama sekali. Hangat, bagai makanan yang baru mentas dari penggorengan)
 

Komentar

Postingan Populer